Seorang Non Muslim Menjadi Pemimpin bagi Masyarakat Muslim ...BOLEHKAH ???
| KPUD DKI Jakarta jelang Pilkada 2017 |
Penjelasan Mengapa Kita Tidak Boleh Memilih Seorang
Kafir Menjadi Pemimpin
Di antara keunggulan umat
Islam dibandingkan dengan umat agama lain, adalah cepat marah apabila
menyaksikan kemungkaran, karena umat Islam berkeyakinan bahwa segala bentuk
kemungkaran harus dibasmi.
Abu Sa’id al-Khudriy ra. ber kata, aku
mendengar Rasulullah Saw. Bersabda: “Barangsiapa melihat kemungkaran,
hendaklah merubah dengan tangannya; jika tidak mampu, maka dengan lisannya;
jika tidak mampu maka dengan hatinya, dan yang demikian itu tingkatan iman
paling lemah.” (HR Muslim)
Berbeda dengan orang kafir,
kemaksiatan dan kemungkaran merupakan gaya hidup mereka. Sayangnya, kemarahan
umat Islam tidak produktif. Akan tetapi umat Islam lemah dalam melakukan
perlawanan, baik perlawanan secara hukum, politik, maupun pisik. Akibatnya,
musuh Islam seringkali memancing kemarahan umat Islam untuk dijebak dan
dilemahkan, dengan sengaja melakukan tindakan yang bertentangan konstitusi
negara maupun kitab suci Al-Qur’an. Misalnya, kerusuhan yang terjadi di
Tanjungbalai, Sumatera Utara pada Jumat (29/7/2016). Terjadi aksi kerusuhan
warga dalam bentuk pembakaran rumah ibadah umat Buddha yakni sejumlah Vihara
dan Klenteng.
Kerusuhan itu dipicu oleh
prilaku arogan etnis minoritas China bernama Herlina dan suaminya. Ia
menunjukkan sikap intoleran serta kebencian dengan memprotes kumandang suara
adzan di Masjid Al-Maksum, dekat rumahnya di Jalan Karya, Kota Tanjungbalai.
Protes dilakukan berulangkali, karena suara adzan dianggap berisik dan
mengganggu tidur mereka.
Bagi umat Islam, protes ini adalah penghinaan
dan penistaan agama yang hukumannya sudah diatur dalam UU. Suara adzan
berkumandang untuk memanggil umat Islam melaksanakan ibadah shalat, bukan suara
nyanyian untuk maksiat seperti yang biasa dilakukan orang-orang kafir.
Oleh karena itu, terdapat
jutaan umat Islam yang siap tempur melawan penistaan ini, karena musuhnya nyata
ada. Jika mereka terus menyuarakan protesnya yang intoleran itu, maka bukan
tidak mungkin para pemrotes itu akan diburu oleh umat Islam, seperti memburu tikus
di sawah.
Namun disinilah umat Islam
kerap terjebak dan dijebak, bisa karena terpancing emosinya sehingan meletup
dalam bentuk kemarahan, atau bisa juga dan ini yang sering terjadi, sikap
diskriminatif aparat keamanan yang lamban bertindak. Dalam kasus Tanjungbalai,
polisi menangkap mereka yang disebut provokator dan pelaku kerusuhan, tapi
sumber masalah utama, yaitu Herlina yang menista agama, dibiarkan berkeliaran.
Menghadapi diskriminasi
polisi, umat Islam lagi-lagi hanya pandai mengumpulkan massa, tapi lemah dalam
membangun jaringan politik dan kekuasaan.
Manipulasi agama
Menghadapi musuh nyata, berupa
Komunisme, Liberalisme, Syiah, dan para penista agama, umat Islam tidak perlu
diragukan kesiapan dan keberaniannya. Hal ini sudah teruji dalam sejarah.
Namun, bila musuh Islam memanipulasi Al-Qur’an dan Sunah Nabi Saw untuk menyesatkan
umat Islam, disinilah problem besar yang tidak banyak orang mampu mengatasinya.
Manipulasi agama oleh tokoh-tokoh agama, jauh lebih berbahaya dan lebih sulit
melawannya.
Contoh, opini sesat dan dikembangkan, yakni yang
menyatakan bahwa,
“wajib menaati penguasa selama mereka masih
Muslim, walaupun mereka berbuat zhalim.”
Mereka mengutip hadits yang artinya,
“Dengarlah dan ta’at kepada pemimpinmu,
walaupun mereka menyiksa punggungmu dan mengambil hartamu. Tetaplah mendengar
dan ta’at kepada mereka.” (HR. Muslim no. 1847).
Mereka yang memahami hadits secara salah dan
kontroversial. Menyiksa punggung dan mengambil harta tanpa alasan yang
dibenarkan oleh syari’at termasuk maksiat. Dan haram menaati penguasa dalam hal
maksiat kepada Allah Swt.
Bagaimana dengan hadits, ‘haram
taat pada makhluk yang maksiat pada Allah?’ Kedzaliman adalah maksiat pada
Allah, dan Allah mengancam orang dzalim masuk neraka. Bagaimana logikanya,
orang yang terancam masuk neraka malah diperintahkan orang mukmin untuk
menaatinya?
Rasulullah Saw bersabda: “Barangsiapa yg
terbunuh karena mempertahankan hartanya, maka ia adalah seorang syahid.” [HR.
Ibnu Majah No.2570].
Hadits ini menyuruh orang
Islam supaya berani melawan orang yang berbuat dzalim terhadap hartanya, dan
bila terbunuh dalam perlawanan itu dapat imbalan mati syahid.
Ada lagi contoh lain, opini
menyesatkan yang membolehkan memilih orang kafir menjadi pemimpin di
tengah-tengah mayoritas Muslim. Terutama dikaitkan dengan isu SARA di Pilgub
DKI 2017 dan daerah lainnya di Indonesia.
Dalil Al-Qur’an yang dimanipulasi, antara lain
adalah al-Qur’an
Surat al-Māʾidah ayat 51:
“Janganlah kamu mengambil
orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu”.
Surat an-Nisāʾ ayat 144,
“Janganlah kalian menjadikan orang-orang kafir
sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang mukmin”.
Menurut para manipulator ini, dua ayat ini
telah diterjemahkan keliru oleh tim ahli Departemen Agama dan disalahpahami
karena konteks asbabun nuzul dan penjelasan tafsir klasik, semisal aṭ-Ṭabarī
dan Ibn Katsīr, tidak menunjukkan kata “awliyāʾ” dalam ayat di atas bermakna
pemimpin, tapi semacam sekutu atau aliansi.
“Yang dilarang itu bersekutu dan beraliansi
dengan orang kafir, bukan mengangkat mereka sebagai pemimpin,” kata mereka.
Begitulah para manipulator agama seringkali
menggiring opini umat untuk maksud tertentu, dengan cara manipulasi ayat
Al-Qur’an.
Padahal kata awliya’ dalam
bahasa Arab memiliki banyak makna, tidak hanya teman, atau sekutu seperti yang
mereka katakan. Awliya’ bisa bermakna teman dekat, orang yang disayangi, orang
yang mengurus tanggungjawab. Akan tetapi, untuk mendapatkan makna yang tepat
sesuai dengan uslub atau gaya bahasa Arab, istilah tersebut harus dikembalikan
pada pemahaman orang Arab. Sekalipun makna yang bermacam-macam dari kata
awliya’ dibenarkan dalam kamus bahasa, tapi penerapannya harus benar-benar
sesuai dengan uslub Arab itu sendiri. Utamanya, pemaknaan kata awliya’ dalam
ayat Al-Qur’an, bukan hanya arti kamus, tetapi yang prinsip adalah praktik
Rasulullah Saw dan para shahabat.
Jika mengikuti omongan para
manipulator, bahwa awliya’ dalam ayat tadi, bukan berarti pemimpin melainkan
sekutu atau teman dekat. Artinya, orang Islam dilarang melakukan persekutuan
baik dengan kafir ahlul kitab maupun yang lain, tapi mengangkatnya sebagai
pemimpin dibolehkan. Maka, hal ini jelas bertentangan dengan praktik Rasulullah
Saw, karena terbukti beliau pernah melakukan syirkah (persekutuan) dengan kaum
kafir Yahudi di Khaibar.
Setelah kaum kafir Yahudi
Khaibar menyerah pada Rasulullah, tanah Khaibar yang semula dikuasai kafir
Yahudi, diserahkan menjadi milik Nabi Saw dan Negara Islam Madinah. Setelah
mereka serahkan sebagai bentuk fa’i, lalu Rasulullah menyuruh seorang Yahudi penduduk
Khaibar menggarapnya dengan cara bagi hasil, yang disebut dengan syirkatul
amwal wal abdan (kerjasama pemilik modal dengan pekerja).
Ini fakta sejarah, yang
mendustakan perkataan, “boleh memilih pemimpin kafir, karena yang dilarang
menjadikan mereka sebagai teman atau sekutu”.
Sebaliknya, sejak zaman Nabi
Saw hingga jatuhnya kekhalifahan Utsmani, umat Islam tidak pernah mengangkat
orang kafir sebagai awliya’ (pemimpin). Allah Swt. melarang keras orang-orang
beriman memilih orang kafir sebagai pemimpin.
Surat Ali Imran [3]:28).
“Orang-orang mukmin tidak boleh mengangkat
orang-orang kafir sebagai pemimpin (awliya’) untuk mengurus orang mukmin. Orang
mukmin yang melanggar larangan ini, dia tidak akan mendapatkan pertolongan dari
Allah sedikit pun…”
Oleh karena itu, jika ada
manipulator agama yang mendorong umat Islam untuk mengangkat orang kafir dan
meninggalkan orang Islam jadi pemimpin. Itu sama artinya dengan menganggap
tidak ada orang Islam di Indonesia. Apakah umat Islam mau dinihilkan eksistensinya
di negeri ini?
Jika ucapan para pembohong ini
dipakai bahwa, “boleh menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, karena
yang dilarang adalah menjadikan mereka sebagai teman atau sekutu”. Maka
mafhum mukhalafahnya, boleh saja seseorang memaki orangtuanya dengan kata
“anjing!” karena di dalam al-Qur’an (17:23) yang dilarang itu melontarkan kata
“ah!” Begitukah yang mereka inginkan?
Padahal maksudnya, jika
berkata-kata ‘Ah’ saja dilarang, apatah lagi berkata ‘anjing’ dan sejenisnya.
Begitu pula kepada orang-orang kafir, kalau bersekutu saja dilarang, maka lebih
terlarang lagi mengangkat mereka jadi pemimpin. Kalau beraliansi saja sudah
dilarang, apatah lagi memberikan kekuasaan kepada mereka. Para manipulator
agama, memang corong orang-orang kafir untuk merusak pemahaman umat Islam
terhadap Al-Qur’an.
Urusan pemimpin terkait dengan
tanggung jawab Negara. Jika kepemimpinan Negara berada dalam kendali orang
kafir, atau menyusupkan orang Islam yang bermental kafir untuk mengurus
kepentingan rakyat yang mayoritas Muslim, lalu untuk apa jadi orang Islam? Hal
itu sama saja dengan menyerahkan leher untuk disembelih orang-orang kafir.
Para manipulator agama ini
tidak menyadari, bahwa mereka telah menjadi bagian dari propaganda orang kafir
untuk menguasai dan menjajah orang-orang Islam. Karena orang-orang kafir
selamanya tidak menghendaki kepemimpinan itu dikendalikan oleh orang-orang
beriman. Orang kafir justru menghendaki, agar kepemimpinan di dunia ini jangan
sampai jatuh pada tangan orang beriman, tapi didominasi pemimpin kufar.
Sumber :
(*/arrahmah.com)
Komentar
Posting Komentar