Minoritas Muslim Tertindas .... Perlukah Fiqh Minoritas...????
Derita Muslim Minoritas Rohingya |
Perlukah Fiqih Minoritas ???
Latar Belakang Kajian
Fiqih minoritas berawal dari kajian fiqih yang berusaha memberikan solusi
bagi masyarakat Muslim_yang menjadi minoritas_tinggal di negeri non-Muslim.
Tokoh yang sangat populer sebagai penggagas fiqih minoritas adalah Taha Jabir
al-Alwani. Hal tersebut dilatarbelakangi oleh semakin banyaknya jumlah umat
Islam di negeri yang mayoritas adalah non-Muslim. Menurut Karen Armstrong
jumlah umat Islam yang tinggal di Eropa antara 6 juta hingga 7 juta jiwa, dan
kurang lebih separuhnya memang dilahirkan di benua tersebut. Adapun jumlah
mesjid sebagai tempat ibadah umat Islam di Perancis dan Jerman pada kisaran
1000 mesjid, sementara di Inggris sekitar 500 mesjid. Menurut Syaifudin
Zuhri, kebutuhan akan fiqih minoritas dilatarbelakangi oleh semakin
meningkatnya angka demografis masyarakat Muslim dan lembaga-lembaga Islam yang
didirikan di negara-negara Barat. Tentu saja mereka harus berhadapan dengan
persoalan-persoalan unik dalam mempraktekkan fiqih. Persoalan yang tidak
terjadi di negara-negara Muslim. Mereka harus berhadapan dengan persoalan
bagaimana menerapkan syariat dalam konteks masyarakat Barat namun tetap terjaga
kemasalahat mereka. Maka fiqih minoritas menjadi jalan keluarnya.
Fiqih minoritas merupakan perspektif ulama
modernis
Fiqih minoritas merupakan perspektif ulama modernis dalam kerangka
melahirkan fleksibilitas hukum Islam pada situasi dan kondisi tertentu.
Walaupun para ulama terdahulu tidak memunculkan fiqih minoritas, bukan berarti
mereka menolaknya. Tidak adanya fiqih minoritas pada masa lalu, bisa disebabkan
oleh tidak adanya fenomena yang ada saat ini pada masa lalu. Fiqih ini menjadi
sangat penting bagi minoritas Muslim di negeri non-Muslim sehingga mereka dapat
menjaga keimanan sekaligus kemaslahatan hidup mereka. Fiqih ini menjadi solusi
bagaimana agar seorang Muslim dapat memerankan dirinya, baik sebagai seorang
Muslim maupun sebagai warga negara yang baik. Di samping itu, fiqih minoritas
akan mengintegrasikan setiap Muslim dengan lingkungan sekitarnya, di negara
manapun mereka tinggal. Maka seyogyanya seorang Muslim yang bertempat tinggal di
negara yang mayoritas non-Muslim diberikan jalan untuk tidak berlebihan dalam
menuntut kemunculan identitasnya sehingga terciptalah pembauran dan toleransi
yang baik. Hal ini yang disebut oleh Jurgen Habermas sebagai toleransi timbal
balik (reciprocal tolerance). Ketika mayoritas memberikan hak
dan kesempatan kepada minoritas, maka minoritas menyadari betul kemudahan yang
diberikan kelompok mayoritas.
Dengan demikian setidaknya ada 3 hal yang
dapat dicapai melalui keberadaan fiqih minoritas.
Pertama, mempromosikan nilai-nilai universal Islam kepada komunitas non-Muslim. Kedua,
memberikan perlindungan terhadap Muslim minoritas di negeri non-Muslim, termasuk
melindungi identitas keislaman mereka.
Ketiga, memberikan dukungan moral kepada mereka atas keadaan yang mereka tengah
jalani sebagai kaum minoritas.
Bagaimana dengan Indonesia
Dalam konteks Indonesia, adanya fiqih minoritas dapat menjadi contoh
bagaimana kelompok minoritas seharusnya menyikapi eksistensinya di Indonesia.
Toleransi, seperti dikemukakan Habermas, tidak bisa dilakukan oleh satu pihak,
akan tetapi harus bersifat “timbal balik” dari kedua belah pihak. Mayoritas
mengimplementasikan toleransinya melalui kesempatan dan perlindungan yang
diberikan kepada kelompok minoritas, sementara kelompok minoritas perlu
menyadari posisi tersebut sehingga berlebihan dalam menuntut hak mereka. Jika
hal tersebut dipenuhi maka bentuk toleransi yang ideal dapat terwujud di mana
Islam sebagai mayoritas melindungi minoritas, dan umat lain_sebagai
minoritas_menghormati umat islam sebagai mayoritas.
Ketika hal tersebut dapat diwujudkan, maka Islam tidak hanya sekedar
menerima kelompok minoritas akan tetapi juga membela mereka. Hal inilah yang dicontohkan
oleh Rasulullah ketika beliau melindungi hak-hak minoritas melalui piagam
Madinah. Di dalam piagam tersebut, dengan jelas Nabi menunjukkan pembelaan
bahwa setiap penyerangan terhadap orang kafir dhimmi sama dengan penyerangan
yang dilakukan kepada Rasulullah. Hal ini pula yang menjadi ketertarikan
orang-orang kafir kemudian untuk menerima Islam.
Sangat tidak logis jika keberhasilan ekspansi Islam dapat diwujudkan jika
semata-mata karena kekuatan militer dan senjata. Jerald F Dirk mengungkapkan bahwa
ekspansi Islam berhasil diwujudkan lebih disebabkan oleh karena kepercayaan
mereka terhadap Rasulullah dan sistem politik yang dibangun di Madinah. Setiap
kali umat Islam melakukan ekspansi, mereka justru dibantu oleh orang-orang
pribumi yang bangkit untuk melakukan revolusi terhadap pemimpin mereka sendiri
yang kejam. Massa pribumi secara aktif membantu orang-orang Islam, dan Islam
sendiri dipersepsikan sebagai agama pembebas yang akan menjamin terbentuknya
pemerintahan yang adil dan tidak berpihak. Pada kasus Kekaisaran Bizantium
jelas terlihat, bahwa jizyah yang
dikumpulkan pemerintah Muslim dari kelompok non-Muslim dipandang tidak
membebani mereka karena jauh lebih kecil dibandingkan dengan pajak-pajak
sebelumnya yang dituntut oleh pemerintah Kristen.
Dari ilustrasi di atas dapat disimpulkan bahwa Islam memiliki konsep yang
komprehensif sebagai agama rahmatan lil alamin.
Fiqih minoritas di satu sisi adalah rahmat bagi umat Islam yang tinggal di
negeri non-Muslim, di sisi lain fiqih minoritas juga menjadi rahmat bagi negara
non-Muslim bahwa umat Islam bukanlah ancaman bagi mereka. Fiqih minoritas juga
memberikan pesan agar non-Muslim di Indonesia menyadari eksistensinya sehingga
umat Islam bukan hanya menerima kehadiran mereka akan tetapi juga melakukan
pembelaan terhadap mereka. Semoga Allah menjadikan negeri ini baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur (negeri yang
baik dan penuh ampunan Allah). (dakwatuna.com/hdn)
—
Referensi:
1.
Armstrong, Karen, Islam: a Short History, New York: The Modern Library,
2002.
2.
Dirks, Jerald F., The Abrahamic Faiths: Judaism, Christianity, and Islam:
Similarities and Contrasts, Beltsville: Amana Publications,
2005.
Komentar
Posting Komentar