Larangan Berjabat Tangan Dengan Yang Bukan Mahram
Larangan Berjabat Tangan Dengan Yang Bukan Mahram |
بسم الله الرحمن الرحيم
Islam melarang segala bentuk
kerusakan dan keburukan
Allah berfirman:
{إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ
وَالإحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى وَيَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ
وَالْبَغْيِ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ}
“Sesungguhnya Allah
memerintahkan (kepadamu) untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi
kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu daoat mengambil
pelajaran” (QS an-Nahl:90).
Ayat yang mulia ini
menunjukkan bahwa semua perkara yang dilarang oleh Allah I dalam Islam pasti
membawa kepada keburukan dan kerusakan, sebagaimana semua perkara yang
diperintahkan-Nya pasti membawa kepada kebaikan dan kemaslahatan[1].
Dalam ayat lain Allah berfirman tentang setan dan godaannya kepada
manusia:
{إِنَّمَا يَأْمُرُكُمْ بِالسُّوءِ
وَالْفَحْشَاءِ وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُون}
“Sesungguhnya syaithan itu
hanya menyuruh kamu berbuat buruk (semua maksiat) dan keji, dan mengatakan
tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (QS al-Baqarah:169).
Ayat yang agung ini
menunjukkan bahwa semua perbuatan maksiat yang yang dilarang dalam agama adalah
keburukan dan merupakan ajakan setan untuk memalingkan manusia dari jalan Allah
[2].
Besarnya fitnah perempuan
bagi laki-laki
Rasulullah mengingatkan tentang besarnya kerusakan dan
fitnah yang ditimbulkan oleh perempuan terhadap laki-laki dalam sabda beliau :
“Aku tidak meninggalkan setelahku fitnah (keburukan/kerusakan) yang lebih
berbahaya bagi kaum laki-laki melebihi (fitnah) kaum perempuan”[3].
Oleh karena itulah, Islam
melarang segala bentuk hubungan antara laki-laki dan perempuan yang bukan
mahram, kecuali dalam batasan-batasan yang sempit yang diperbolehkan dalam syariat
Islam. Hal ini mengingat besarnya kerusakan dan fitnah yang akan timbul jika
hubungan kedua jenis manusia tersebut dibebaskan tanpa ada batasan-batasan dari
Allah yang maha menciptakan dan
mengetahui keadaan makhluk-Nya. Allah
berfirman:
{أَلا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ
اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ}
“Bukankah Allah yang
menciptakan (alam semesta beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan
Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui” (QS al-Mulk:14).
Termasuk hubungan yang
diharamkan dalam Islam karena besarnya kerusakan yang ditimbulkannya adalah apa
yang disebut sebagai “pergaulan bebas” antara laki-laki dan perempuan tanpa ada
ikatan yang dibenarkan dalam syariat. Perbuatan ini akan menimbulkan banyak
keburukan dan kerusakan besar, seperti bertemunya laki-laki dan perempuan yang
bukan mahram, berkenalan, berjabat tangan, berteman dekat dan berpacaran. Dan
tentu saja semua hubungan yang tidak halal ini bisa mengantarkan kepada
perbuatan zina dan penyimpangan akhlak lainnya, na’dzu billahi min dzaalik.
Oleh karena itulah, para
ulama Ahlus sunnah melarang dan memperingatkan dengan keras tentang besarnya
fitnah/kerusakan perbuatan ini, bahkan mereka menegaskan bahwa perbuatan ini
merupakan biang segala keburukan dan kerusakan yang terjadi di masyarakat.
Imam Ibnul Qayyim berkata:
“Tidak diragukan lagi bahwa membiarkan kaum perempuan bercampur (bergaul) bebas
dengan kaum laki-laki adalah biang segala bencana dan kerusakan, bahkan ini
termasuk penyebab (utama) terjadinya berbagai melapetaka yang merata.
Sebagaimana ini juga termasuk penyebab (timbulnya) kerusakan dalam semua
perkara yang umum maupun khusus. Pergaulan bebas merupakan sebab
berkembangpesatnya perbuatan keji dan zina, yang ini termasuk sebab kebinasan
massal (umat manusia) dan wabah penyakit-penyakit menular yang
berkepanjangan[4].
Ketika para pelacur
bercampur (dengan bebas) bersama pasukan Nabi Musa u, sehingga tersebarlah
perbuaan zina di antara mereka, maka Allah menimpakan kepada mereka wabah
penyakit menular, yang berakibat matinya tujuh puluh ribu orang dalam satu
hari. Dan kisah ini sangat populer (disebutkan) dalam kitab-kitab tafsir.
Oleh karena itu, termasuk
penyebab besar (terjadinya bencana) kematian massal adalah banyaknya (terjadi)
perbuatan zina karena membiarkan kaum perempuan bergaul bebas dengan kaum
laki-laki dan berjalan dihadapan mereka dengan bersolek dan berdandan.
Seandainya para pihak yang
berwenang mengetahui kerusakan (besar yang ditimbulkan) dari perbuatan ini dalam
(urusan) dunia dan masyarakat – belum lagi urusan agama – maka mereka pasti
akan melarang dengan sekeras-kerasnya perbuatan tersebut”.
(Shahabat yang mulia)
Abdullah bin Mas’ud t berkata: “Jika perbuatan zina telah nampak (tersebar) di
suatu negeri maka Allah akan membinasakan negeri tersebut”[5].
Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz
lebih menegaskan hal ini dalam ucapan beliau: “Dalil-dali (dari al-Qur’an dan
hadits Nabi ) secara tegas menunjukkan haramnya (laki-laki yang) berduaan
dengan perempuan yang tidak halal baginya, (demikian pula diharamkan)
memandangnya, dan semua sarana yang menjerumuskan (manusia) ke dalam perkara
yang dilarang oleh Allah. Dalil-dalil tersebut sangat banyak dan kuat
(semuanya) menegaskan keharaman pergaulan bebas, karena membawa kepada perkara
(kerusakan) yang sangat buruk akibatnya…
Maka seruan propaganda (yang
menyerukan agar) perempuan ikut terjun di tempat-tempat kerja yang khusus bagi
laki-laki adalah ajakan yang sangat berbahaya bagi (kebaikan) masyarakat Islam,
yang termasuk dampak (negatif) terbesarnya adalah pergaulan bebas yang termasuk
sarana terbesar (yang menjerumuskan kepada) perbuatan zina, yang ini (pada
gilirannya) akan menghancurkan masyarakat dan merusak nilai-nilai luhur serta
budi pekerti baik mereka”[6].
Islam mengharamkan semua
sebab yang membawa kepada hubungan tidak halal antara laki-laki dan perempuan
Dalam rangka mencegah
keburukan dan kerusakan besar akibat hubungan yang tidak halal ini, agama Islam
mengharamkan semua sebab yang menjerumuskan ke dalam perbuatan buruk ini, di
antaranya[7]:
1- Diharamkannya menemui
perempuan yang tidak halal dan berduaan dengannya, termasuk berduaan dengan
sopir di mobil, dengan pembantu di rumah, dengan dokter di tempat prakteknya
dan lain-lain.
Banyak dalil yang menunjukkan
hal ini, di antaranya sabda Rasulullah :
“Tidaklah sekali-kali
seorang laki-laki berduaan dengan seorang perempuan kecuali setan akan menjadi
yang ketiga”[8].
2- Diharamkannya bersafar
(melakukan perjalanan jauh) bagi perempuan tanpa laki-laki yang menjadi
mahramnya (suami, ayah, paman atau saudara laki-lakinya).
Dalil yng menunjukkan hal
ini juga banyak sekali, di antaranya sabda Rasulullah : “Janganlah sekali-kali
seorang perempuan bersafar kecuali bersama dengan mahramnya”[9].
3- Diharamkannya memandang
dengan sengaja kepada lawan jenis, berdasarkan firman Allah :
{قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا
مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ
خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ. وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا}
“Katakanlah kepada laki-laki
yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.
Dan katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan
pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka
menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka” (QS
an-Nuur: 30-31).
4- Diharamkannya menemui
seorang perempuan tanpa mahram, meskipun dia saudara suami (ipar), berdasarkan
sabda Rasulullah : “Waspadalah kalian (dari perbuatan) menemui perempuan (tanpa
mahram)”. Ada yang bertanya: Wahai Rasulullah , bagaimana dengan al-hamwu (ipar
dan kerabat suami lainnya)? Rasulullah
bersabda “al-Hamwu adalah kebinasaan”[10]. Artinya: fitnah yang
ditimbulkannya lebih besar karena bisanya seorang perempuan menganggap biasa
jika berduaan dengan kerabat suaminya[11].
5- Diharamkannya laki-laki
menyentuh perempuan, meskipun untuk berjabat tangan[12]. Pembahasan ini akan
kami uraikan dengan lebih rinci insya Allah.
Berdasarkan sabda Rasulullah
: “Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk dengan jarum dari besi lebih
baik baginya dari pada dia menyentuh seorang perempuan yang tidak halal baginya”[13].
6- Diharamkannya laki-laki
yang menyerupai perempuan dan sebaliknya. Berdasarkan hadits berikut: Dari
shahabat yang mulia, Abdullah bin ‘Abbas t, beliau berkata: “Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai perempuan
dan melaknat perempuan yang menyerupai laki2″[14].
7- Disyariatkan dan
dianjurkannya bagi kaum perempuan untuk shalat di rumah dan itu lebih
baik/utama daripada shalat mereka di masjid, dalam rangka menghindari fitnah
yang timbul jika mereka sering keluar rumah. Rasulullah bersabda: “Janganlah kalian melarang para
wanita (untuk melaksanakan shalat) di masjid, meskipun (shalat mereka) di
rumah-rumah mereka lebih baik bagi mereka”[15].
8- Diharamkannya perempuan
sering keluar rumah tanpa ada keperluan yang dibenarkan dalam syariat dengan
syarat tidak berdandan dan bersolek karena akan menimbulkan fitnah bagi
laki-laki. Allah berfirman:
{وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا
تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَى، وَأَقِمْنَ الصَّلَاةَ وَآَتِينَ
الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُولَهُ، إِنَّمَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ
الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيرًا}
“Dan hendaklah kalian (wahai
istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian
bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti
(kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu, dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah
bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait (istri-istri
Nabi) dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya” (QS al-Ahzaab:33).
Dan dalam hadits yang shahih
Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya
wanita adalah aurat, maka jika dia keluar (rumah) setan akan mengikutinya
(menghiasainya agar menjadi fitnah bagi laki-laki), dan keadaanya yang paling
dekat dengan Rabbnya (Allah ) adalah ketika dia berada di dalam rumahnya”[16].
9- Diharamkannya perempuan
keluar rumah dengan memakai wangi-wangian dalam bentuka apapun, karena akan
menimbulkan fitnah yang besar. Rasulullah
betrsabda: “Seorang wanita, siapapun dia, jika dia (keluar rumah dengan)
memakai wangi-wangian, lalu melewati kaum laki-laki agar mereka mencium bau
wanginya maka wanita adalah seorang pezina”[17].
Larangan menyentuh perempuan
yang bukan mahram
Mahram bagi perempuan adalah semua
laki-laki yang diharamkan dalam Islam untuk menikahinya selamanya, karena hubungan
nasab, misalnya ayah dan saudara laki-lakinya, sebab yang mubah (boleh) tentang
keharamannya (pernikahan), misalnya suami, bapak mertua dan putra dari suami,
atau karena hubungan persusuan, misalnya ayah dan saudara laki-laki
sepersusuan[18].
Adapun perempuan yang
termasuk mahram bagi laki-laki, di antaranya: ibunya, neneknya, saudara
perempuannya, anak dan cucu perempuannya, ibu mertuanya, anak perempuan dari
istri yang telah digaulinya, dan lain-lain.
Islam melarang dan
mengharamkan bagi laki-laki untuk menyentuh perempuan yang bukan mahramnya,
termasuk berjabat tangan untuk berkenalan, bermaaf-maafan, berterima kasih atau
alasan-alasan lainnya, karena ini akan mengantarkan kepada dampak negatif dan
keburukan besar, seperti yang kami uraikan di atas.
Banyak hadits yang shahih
dari Rasulullah yang menjelaskan
larangan dan keharaman hal ini, di antaranya:
1. Dari Aisyah t (istri
Rasulullah ), beliau t menceritakan tentang baiat kaum wanita (mukminah) kepada
Rasulullah , beliau berkata: Rasulullah sama sekali tidak pernah menyentuh
seorang wanitapun dengan tangan beliau, tapi beliau mengambil baiat wanita
(dengan ucapan saja dan tanpa berjabat tangan), setelah membaiat wanita, beliau
bersabda kepadanya: “Pergilah, sungguh aku telah membaiatmu”[19].
Imam
abu Zakaria an-Nawawi (Imam besar dari
madzhab asy-Syafi’i) menyebutkan beberapa faidah dari hadits ini, di
antaranya:
– Membaiat wanita (hanya)
dengan ucapan tanpa berjabat tangan, adapun laki-laki maka dengan berjabat
tangan dan ucapan.
– Tidak boleh menyentuh
kulit wanita yang bukan mahram tanpa (ada alasan) darurat, seperti berobat dan
lain-lain[20].
2. Dari Umaimah bintu
Ruqaiqah tdia berkata: Aku pernah mendatangi Rasulullah bersama para wanita
(muslimah) untuk membaiat beliau , lalu beliau bersabda: “Sesuai dengan
kemampuan dan kesanggupan kalian, sesungguhnya aku tidak berjabat tangan dengan
kaum perempuan (yang bukan mahram)”. Lafazh ini terdapat dalam “sunan Ibnu
majah”[21].
Hadits ini menguatkan
penjelasan yang disebutkan oleh Imam an-Nawawi di atas.
3. Dari Ma’qil bin Yasar t
bahwa Rasulullah bersabda: “Sungguh jika kepala seorang laki-laki ditusuk
dengan jarum dari besi lebih baik baginya daripada dia menyentuh seorang
perempuan yang tidak halal baginya (bukan istri atau mahramnya)”[22].
Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albani berkata: “Dalam hadits ini terdapat ancaman yang sangat keras bagi
seorang (laki-laki) yang menyentuh perempuan yang tidak halal baginya. Ini
(juga) menunjukkan haramnya berjabat tengan dengan perempuan (selain istri atau
mahram), karena ini termasuk menyentuh, tanpa diragukan lagi. Sungguh keburukan
ini di jaman sekarang telah menimpa banyak dari kaum muslimin, yang di antara
mereka ada orang-orang yang berilmu (paham agama Islam). Seandainya mereka
mengingkari keburukan ini (meskipun) dalam hati mereka, maka paling tidak
keburukan ini akan sedikit berkurang. Akan tetapi (parahnya) mereka (justru)
menganggap halal keburukan tersebut, dengan berbagai macam cara dan
pentakwilan. Sungguh telah sampai kepadaku (berita) bahwa seorang tokoh yang
sangat diagungkan di (Universitas) al-Azhar (di Mesir) pernah disaksikan
beberapa orang sedang berjabat tangan dengan beberapa orang perempuan (yang
bukan mahramnya). Kita mengadukan kepada Allah tentang asingnya ajaran
Islam”[23].
Penutup
Demikianlah dan semoga
tulisan ini bermanfaat bagi kaum muslimin untuk memotivasi mereka agar menjauhi
hal-hal yang dilarang dalam agama Islam, guna menjamin keselamatan dan kebaikan
hidup mereka di dunia dan akhirat.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا
محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 23 Dzulhijjah
1435 H
Abdullah bin Taslim
al-Buthoni
[1] Lihat kitab “Taisiirul
Kariimir Rahmaan” (hal. 447).
[2] Lihat kitab “Tafsir Ibnu
Ktsir” (hal. 1/63).
[3] HSR al- Bukhari (no.
4808) dan Muslim (no. 2740).
[4] Seperti penyakit AIDS
dan penyakit-penyakit kelamin berbahaya lainnya, na’uudzu billahi min dzaalik.
[5] Kitab “ath-Thuruqul
hukmiyyah” (hal. 407-408).
[6] Majallatul buhuutsil
islaamiyyah (7/343).
[7] Lihat kitab”Hiraasatul
fadhiilah” (hal. 101-102), dengan tambahan dari penulis.
[8] HR at-Tirmidzi (no.
2165) dan Ahmad (1/26), dinyatakan shahih oleh imam at-Tirm,idzi dan syaikh
al-Albani.
[9] HSR al-Bukhari (no.
2844) dan Muslim (no. 1341).
[10] HSR al-Bukhari (no.
4934) dan Muslim (no. 2172).
[11] Lihat kitab “Fathul
Baari” (9/332).
[12] Lihat keterangan syaikh
al-Albani dalam “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (1/395).
[13] HR ath-Thabarani dalam
“al-Mu’jamul kabiir” (no. 486 dan 487) dan ar-Ruyani dalam “al-Musnad” (2/227),
dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani dalam “Silsilatul ahaadiitsish
shahiihah” (no. 226).
[14] HSR al-Bukhari (no.
5546).
[15] HR Abu Dawud (no. 567),
Ahmad (2/76) dan al-Hakim (no. 755), dinyatakan shahih oleh imam al-Hakim,
adz-Dzahabi dan syaikh al-Alabani.
[16] HR Ibnu Khuzaimah (no.
1685), Ibnu Hibban (no. 5599) dan at-Thabrani dalam “al-Mu’jamul ausath” (no. 2890), dinyatakan shahih oleh Ibnu
Khuzaimah, Ibnu Hibban, al-Mundziri dan syikh al-Albani dalam “Silsilatul
ahaaditsish shahiihah” (no. 2688).
[17] HR an-Nasa’i (no.
5126), Ahmad (4/413), Ibnu Hibban (no. 4424) dan al-Hakim (no. 3497),
dinyatakan shahih oleh imam Ibnu Hibban, al-Hakim dan adz-Dzahabi, serta
dinyatakan hasan oleh syaikh al-Albani.
[18] Lihat kitab “Fathul
Baari” (4/77) dan “majmu’u fata-wa wa maqaalaati asy-Syaikh Bin Baz” (15/241).
[19] HSR Muslim (3/1489, no.
1866), bab: bagaimana (Rasulullah r) membaiat wanita.
[20] Lihat “Syarah shahih
Muslim” (13/10).
[21] HR an-Nasa’i (7/149,
no. 4181), at-Tirmidzi (4/151, no. 1597) dan Ibnu Majah (2/ 959, no. 2874),
dinyatakan sebagai hadits yang hasan shahih oleh Imam at-Tirmidzi dan Ibnu
Hajar (Fathul Bari 13/204).
[22] HR ath-Thabarani dalam
“al-Mu’jamul kabiir” (no. 486 dan 487) dan ar-Ruyani dalam “al-Musnad” (2/227),
dinyatakan shahih oleh Imam al-Haitsami (Majma’uz zawa-id 4/598), al-Mundziri
dan al-Munawi (lihat kitab “Faidhul Qadiir” 5/258), dan dinyatakan hasan oleh syaikh
al-Albani dalam “Silsilatul ahaadiitsish shahiihah” (no. 226).
[23] KItab “Silsilatul
ahaadiitsish shahiihah” (1/225, no. 226).
Komentar
Posting Komentar