Keutamaan Mengucapkan Salam Kepada Setiap Muslim Yang Dikenal Maupun Tidak Dikenal
Keutamaan Mengucapkan Salam Kepada Setiap Muslim Yang Dikenal Maupun Tidak Dikenal |
Keutamaan Mengucapkan Salam
Kepada Setiap Muslim Yang Dikenal Maupun Tidak Dikenal
BY ABDULLAH TASLIM ⋅
DECEMBER 22, 2016 ⋅
POST A COMMENT
بسم الله الرحمن الرحيم
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو
رضي الله عنه : أَنَّ رَجُلاً سَأَلَ النَّبِيََ: أَيُّ الإِسْلاَمِ خَيْرٌ؟ قَالَ:
« تُطْعِمُ الطَّعَامَ، وَتَقْرَأُ السَّلاَمَ عَلَى مَنْ عَرَفْتَ وَمَنْ لَمْ تَعْرِفْ
» متفق عليه
Dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin
al-‘Ash رضي الله عنه bahwa ada seorang
yang bertanya kepada Rasulullah ﷺ:
Apakah (amal dalam) Islam yang paling baik? Maka Rasulullah ﷺ
bersabda: “(Yaitu) kamu memberi makan (orang yang membutuhkan) dan mengucapkan
salam kepada orang (muslim) yang kamu kenal maupun tidak kamu kenal”[1].
Hadits yang agung ini
menunjukkan besarnya keutamaan mengucapkan salam kepada setiap muslim yang
dikenal maupun tidak dikenal, karena ini termasuk amal kebaikan yang paling
utama dalam Islam dan sebab besar untuk masuk Surga, dengan taufik dari Allah ﷻ.
Rasulullah ﷺ
bersabda: “Kalian tidak akan masuk Surga sampai kalian beriman (dengan benar)
dan kalian tidak akan beriman sampai kalian salaing mencintai (karena Allah ﷻ).
Maukah kalian aku tunjukkan suatu amal yang jika kalian kerjakan maka kalian
akan saling mencinta? Sebarkan salam di antara kamu”[2].
Imam an-Nawawi rahimahullah
berkata: “Dalam hadits ini terdapat motivasi besar untuk mengucapkan dan
menyebarkan salam kepada semua kaum muslimin, yang kita kenal maupun tidak”[3].
Beberapa mutiara faidah yang
dapat kita petik dari hadits ini:
– Makna yang terkandung
dalam hadits ini adalah “Janganlah kamu mengkhususkan ucapan salam kepada orang
tertentu karena kesombongan atau berpura-pura menampakkan kebaikan, tapi
ucapanlah salam dalam rangka mengagungkan syi’ar-syi’ar (lambang kemuliaan dan
kebesaran) Islam dan mempertimbangkan persaudaraan sesama muslim[4].
– Mengkhusukan pengucapan
salam hanya kepada orang yang dikenal adalah perbuatan buruk dan termasuk
tanda-tanda datangnya hari Kiamat. Dari ‘Abdullah bin Mas’ud رضي الله عنه bahwa Rasulullah ﷺ
bersabda: “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari Kiamat adalah jika salam
diucapkan (hanya) kepada orang yang dikenal”. Dalam riwayat lain: “…seorang
muslim mengucapkan salam kepada muslim lainnya, tidak lain karena dia
mengenalnya”[5].
– Mengucapkan salam kepada
orang muslim yang dikenal dan tidak dikenal menunjukkan keikhlasan karena Allah
ﷻ
semata, sikap merendahkan diri dan sekaligus menyebarkan salam yang merupakan
syi’ar Islam[6].
– Yang dimaksud dengan
mengucapkan salam kepada orang yang dikenal dan tidak dikenal dalam hadist ini
adalah khusus hanya bagi orang-orang muslim, berdasarkan penjelasan dari
hadits-hadits shahih lainnya[7].
– Dalam hadits ini juga
terdapat keutamaan besar memberi makan kepada orang yang membutuhkannya,
terutama orang-orang miskin, dengan niat ikhlas karena mengharapkan wajah Allah
ﷻ
semata-mata.
Allah ﷻ
berfirman:
{وَيُطْعِمُونَ الطَّعَامَ عَلَى
حُبِّهِ مِسْكِينًا وَيَتِيمًا وَأَسِيرً.ا إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ
لا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلا شُكُورًا}
“Dan mereka (orang-orang
yang bertakwa) selalu memberikan makanan yang mereka sukai kepada orang miskin,
anak yatim dan orang yang ditawan. (Dan mereka berkata): Sesungguhnya kami
memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan wajah Allah, kami tidak
menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih” (QS
al-Insaan: 8-9).
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا
محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Kota Kendari, 9 Dzulqa’dah
1437 H
Abdullah bin Taslim
al-Buthoni
[1] HSR al-Bukhari (no. 12
dan 28) dan Muslim (no. 39).
[2] HSR Muslim (no. 54).
[3] Kitab “Syarhu shahih
Muslim” (2/36).
[4] Lihat keterangan Imam
Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah dalam “Fathul Baari” (1/56).
[5] HR Ahmad (1/387) dan
ath-Thabrani dalam “al-Mu’jamul kabiir” (9/297), dinyatakan shahih oleh Syaikh
al-Albani rahimahullah karena beberapa jalurnya yang saling menguatkan, dalam
“ash-Shahiihah” (no. 648).
[6] Lihat keterangan Imam
Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullahdalam “Fathul Baari” (11/21).
[7] Lihat keterangan Imam
Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullahdalam “Fathul Baari” (1/56) dan (11/21).
Komentar
Posting Komentar